BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pada masa Rasulullah
masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga
akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut
(lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun
hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam
hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan
hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke
berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh
penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal
dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin
bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh
Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Dalam mempelajari
hadits kita tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berkenaan dengan hadits
saja, tetapi kita juga perlu mempelajari tokoh-tokoh yang telah berjasa besar
dalam memelihara dan menyebarluaskan hadits-hadits Nabi yang merupakan sumber
ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Berkat jasa merekalah hadits-hadits Nabi saw
sampai di tangan kita. Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama yang
menempati posisi khusus dalam umat ini.
Kedudukan mereka di
mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan peranan mereka yang begitu
besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam.Inilah keistimewaan ulama hadits
dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa sunnah
Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran. Sunnah Rasulullah
merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu agama akan kembali. Tidak ada
satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan
penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Jelaskan
tokoh tokoh ulama hadist beserta kitabnya?
C. TUJUAN
1. Mengetahui
tokoh tokoh ulama hadist beserta kitabnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Imam
Bukhori Dengan Hadist Shahih
Nama lengkap Imam Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja'fi. Ia lebih di
kenal dengan sebutan Imam Bukhari. Diantara para ahli hadits, beliaulah yang
paling masyhur hingga sekarang. Hadits-hadits riwayat Imam Bukhari lebih di
unggulkan oleh para ulama daripada riwayat ahli hadits lainnya, seperti Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan lainnya. Kenapa seperti demikian, tidak lain karena tingkat
keshahihan hadits yang beliau riwayatkan sangatlah akurat. Ayah Imam Bukhari
terkenal sebagai orang yang berilmu, ia juga sangat wara’, menjaga diri dari
hal-hal yang syubhat. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata:
“Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun harta yang haram maupun
yang syubhat.” Maka jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan
keluarga yang berilmu, taat beragama, wara dan terjaga dari hal-hal yang
syubhat. Tidak heran jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya.
Metode Periwayatan Imam Bukhari
Pembahasan mengenai metode Imam Bukhari dalam
meriwayatkan hadits, maka tidak akan jauh dari metode beliau dalam menyeleksi
hadits-hadits beliau ke dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari adalah orang
pertama yang menyusun sebuah kitab yang di dalamnya murni berisi hadits shahih.
Kitabnya bernama 'Al Jâmi‘ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar Min Umûri
Rasûli’Llâh Saw. Wa sunanihi Wa Ayyâmihi'. Di sebut al-Jâmi' karena kitab ini
hampir mencakup apa saja yang di butuhkan oleh umat Islam, baik untuk urusan
agama, dunia, maupun akhirat mereka. Dikatakan al-Musnad karena semua sanad
haditsnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw.. Dikatakan al-Shahîh karena
di dalam kitab tersebut tidak ada satu hadits pun kecuali ia shahih, bahkan
‘Ashahhu al-Shahîh’, paling shahih di antara yang shahih. Di katakan al
Mukhtashar karena kitab ini tidak mencakup seluruh hadits shahih, melainkan
‘Ashahhu al-Shahîh’ saja.
Ada dua riwayat mengenai faktor yang mendorong Imam
Bukhari dalam menyusun kitabnya:
1. Ibrahim bin Ma'qil al Nisfi meriwayatkan dari Imam
Bukhari, ia berkata: suatu ketika kami berada pada Ishaq bin Rohuwiyah, maka ia
berkata: “Hendaknya kalian mengumpulkan ke dalam sebuah kitab yang meringkas
sunnah-sunnah nabi Saw. yang shahih,” kemudian ia berkata: “Maka hal itu
terdetik dalam hatiku, kemudian setelah itu aku mulai mengumpulkan
hadits-hadits dalam kitab al-Jâmi' al-Shahîh.”
Diriwayatkan darinya lagi, bahwasannya Imam Bukhari
berkata:
2. Aku melihat Rasulullah Saw. dalam mimpi, seakan-akan aku
berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah kipas." Setelah itu Aku
menanyakan hal itu kepada sebagian ahli ta'bir. Maka mereka mengatakan
kepadaku, "Bahwasanya kamu akan mengikis habis kedustaan yang ditujukan
kepada nabi Saw.. Hal itulah yang mendorongku untuk menyusun al-Jâmi'
al-Shahîh. Ia juga berkata: "Aku mengarangnya dalam waktu lebih dari 10
tahun".
Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadits selalu menerapkan
metode ilmiah yang sangat detail. Beliau menggunakan standar keshahihan hadits
yang sangat tinggi. Dengan metode demikianlah keshahihan hadits-hadits Imam
Bukhari dapat dipertanggungjawabkan. Beliau sama sekali tidak meriwayatkan
hadits kecuali ia telah menyeleksi para perawi dan benar-benar yakin akan
keshahihan hadits tersebut. Imam Bukhari selalu membandingkan hadits-hadits
yang diriwayatkannya, menyaringnya kemudian memilah mana yang menurutnya paling
shahih. Dalam sebuah riwayat Imam Bukhari mengatakan: “Aku susun kitab al-Jâmi‘
ini yang di pilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Imam Bukhari hafal ratusan ribu hadits lengkap beserta
sanad dan pengetahuan para perawinya. Kendati demikian tidak semua hadits yang
beliau hafal kemudian ia riwayatkan dan ia masukkan ke dalam kitabnya,
melainkan ia menyeleksi dengan sangat ketat sanad dari hadits tersebut, apakah
ia bersambung atau tidak. Keadaan para perawi hadits tersebut tidak luput dari
pemeriksaannya, apakah ia tsiqah atau tidak. Sehingga ketika ia mendapati
seorang perawi yang diragukan kejujurannya, ia pun meninggalkan hadits tersebut
untuk tidak ia riwayatkan. Adapun jika perawinya tidak jelas kapabilitasnya
atau terlebih lagi jika perawinya jelas akan kebohongannya, maka dengan tidak
ragu ia tinggalkan hadits tersebut. Beliau berkata: "Aku tinggalkan 10.000
hadits yang di riwayatkan oleh perawi yang perlu di pertimbangkan.”
Imam Bukhari dalam perjalanannya mencari hadits telah
bertemu banyak sekali para perawi hadits dan ulama. Dengan teliti ia mencatat
keadaan para ulama dan perawi tersebut, untuk nantinya ia jadikan bahan
pertimbangan mengenai mereka. Demi mendapatkan sebuah hadits tidak
tanggung-tanggung Imam Bukhari berjalan dari satu negera ke negera yang lain,
meskipun jarak antara negara-negara tersebut sangatlah jauh. Berharap
mendapatkan keterangan tentang sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama
atau perawi, seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz dan lainnya. Beliau
mengatakan: "Aku telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing
dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak
dapat dihitung berapa kali Aku mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui
ulama-ulama ahli hadits."
Komparasi Metode Imam Bukhari
dengan Muslim
Imam Bukhari adalah orang pertama yang menyusun kitab
hadits yang di dalamnya hanya terdapat hadits shahih. Kemudian setelah Imam
Bukhari adalah Muslim. Muslim adalah murid dari Imam Bukhari. Berkaitan dengan
perbandingan metode Imam Bukhori dengan Muslim, maka tidak jauh pula dari
metode penulisan kitab shahih mereka berdua. Keduanya memiliki keutamaan yang
luar biasa dalam periwayatan hadits shahih. Kitab Bukhari lebih shahih daripada
kitab yang di susun oleh Muslim, dan lebih banyak faidahnya. Meskipun ada
beberapa ulama yang berpendapat bahwa kitab Muslim lebih shahih dari kitab
Bukhari. Namun pendapat yang benar adalah, kitab Bukhari lebih utama dari kitab
Muslim. Karena kitab Bukhari sanad-sanadnya lebih kuat dan para perawinya lebih
mutqin daripada kitab Muslim.
Keunggulan kitab Imam Bukhari dapat di tinjau dari
beberapa aspek, diantaranya;
1. Bahwasannya hadits yang di riwayatkan Imam Bukhari
sendiri (tidak di riwayatkan oleh Muslim) lebih dari 430 hadits, dan yang
memberi komentar mengenai kelemahan hadits tersebut sebanyak 80 orang. Sedangkan
yang di riwayatkan Muslim sendiri (tidak di riwayatkan oleh Bukhari) sebanyak
620 hadits, dan yang mengomentarinya ada sebanyak 160. maka tidak ragu lagi
bahwa yang sedikit di komentari lebih utama daripada yang banyak mendapatkan
komentar.
2. Adapun hadits Imam Bukhari yang mendapatkan komentar,
ia mendapatkannya langsung dari gurunya yang secara langsung ia temui dan duduk
bersamanya. Sehingga ia mengetahui persis keadaannya, telah ia telaah
hadits-haditsnya, dan paham betul mana hadits yang baik dan mana yang tidak
baik. Sedangkan Muslim, ia mendapatkan hadits tersebut dari orang-orang yang
telah lewat masanya. Maka tidak di ragukan lagi, seorang muhaddits yang lebih
tahu perkataan syaikh-nya lebih utama daripada yang tidak duduk langsung dengan
syaikhnya.
3. Imam Bukhori adalah orang nomor satu dalam bidang
hafalan, kemudian pada urutan kedua adalah Muslim. Terbukti dalam riwayat
ketika ia di uji oleh 10 ulama yang memutar balikkan hadits, kemudian Imam
Bukhari membenarkannya satu persatu.
4. Muslim menghukumi hadits 'mu'an'an' sebagai hadits
yang shahih atau sanadnya bersambung, asalkan perowinya adalah satu masa,
meskipun belum pernah bertemu. Akan tetapi Imam Bukhori tidak demikian. Bukhari
mensyaratkan harus bertemunya kedua perowi.
Bahwasannya hadits-hadits riwayat mereka berdua yang
mendapat kritikan sebanyak 210 hadits. Khusus riwayat Imam Bukhari yang
mendapat kritikan kurang dari 80 hadits.[1]
B.
Imam Muslim Dengan Hadist Shahih
Imam
Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama
lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi
an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah
Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah- daerah
yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti
Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang
150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota
kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan
Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar. Perhatian dan minat Imam
Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah
berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar
hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau
dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika
berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli
hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits
Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits. Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak
segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara.
Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan
urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam,
Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak
bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada
mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih;
di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau
belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz
beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru
kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam
Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung
untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau
lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim
sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu,
Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau
bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya
hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak
baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan
hadits-hadits Nabi SAW. Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab
lainnya tidak memasukkan 26 hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal
beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari.
Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke
dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu.
Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya. Imam Muslim
yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan
ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada
Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam
karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa
pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar
10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits
yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa
pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis
dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang
beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan
waktu 15 tahun. Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan
prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk
menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul
(metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada
saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada
saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata). Imam
Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik,
dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar
ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam
Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu
tak lain adalah ahli- ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Kitab Shahih Muslim
Imam
Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling
utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya,
kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak
memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan
judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya
lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun
dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali
tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang
bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan
menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong
suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi
sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu,
sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di
bawah al- Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam
Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari. Sebenarnya kitab Shahih
Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar,
yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas,
Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa
argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang
hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima
oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis. Berdasarkan
hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits.
Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan
ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan
isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Karya-karya Imam Muslim
Imam
Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna,
2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin,
7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul
‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al- Mukhadhramin,
16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19)
Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad. Kitab-kitab nomor 6,
20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk
manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul
singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan,
bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.[2]
C.
Imam Abu Dawud Dengan Kitab Sunan
Beliau
adalah seorang ulama panutan umat, ulama yang berpegang kuat dengan bimbingan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang memiliki hafalan yang
kuat dan seorang ahli hadits kota Bashrah. Dia lah Sulaiman bin al-Asy’ats bin
Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amr bin Imran al-Azdi as-Sijistani atau yang
lebih terkenal dengan sebutan Abu Dawud as-Sijistani.
Beliau
dilahirkan pada tahun 202 H di daerah Sijistan. Sijistan adalah sebuah propinsi
kecil yang berbatasan dengan daerah Sind (Pakistan). Terletak di sebelah barat
Hirrah (Afghanistan), sebuah daerah di negeri Khurasan. Di sebelah selatannya
adalah padang sahara yang tandus. Daerah Sijistan banyak dipenuhi oleh
pepohonan kurma dan pasir. Al-Imam Abu Dawud tumbuh dalam lingkungan yang penuh
dengan cahaya ilmu terutama ilmu hadits.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Rihlah
(perjalanan) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka menuntut ilmu, telah
menjadi kebiasaan dan kebutuhan yang sangat penting sejak zaman para sahabat
dan para ulama setelahnya terutama di dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan
penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah beliau berkeliling dunia, pindah dari
satu negeri ke negeri lain, menuntut ilmu dari banyak ulama, mengumpulkan ilmu
kemudian menulis dan mencapai puncak karirnya sebagai seorang ahli hadits. Di
antara para ulama yang beliau temui tercatat 2 ulama yang sangat terkenal yaitu
al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Imam Yahya bin Ma’in. Dari mereka berdua lah
beliau belajar ilmu hadits. Beliau mulai melakukan perjalanan untuk menuntut
ilmu semenjak usia yang masih belia yaitu 18 tahun. Untuk pertama kalinya
beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 220 H.
Beliau
berkata, “Aku memasuki kota Kufah pada tahun 221 Hijriyah. Kemudian aku memasuki kota Damaskus dan mencatat hadits dari Abu
an-Nadhr al-Faradisi –seorang ulama yang banyak menangis– pada tahun 222
Hijriyah.”
Di
samping itu, beliau juga melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti Mesir,
Saudi Arabia, Syam, Irak, Iran, Afghanistan, dan lain-lain dalam rangka
menuntut ilmu kepada para ulama yang berada di negeri-negeri tersebut. Karena
seringnya melakukan perjalanan di dalam menuntut ilmu, beliau mendapat julukan
ar-Rahal (orang yang banyak melakukan perjalanan).
Al-Imam
Ibnu Katsir asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah mengatakan,
“Beliau termasuk salah seorang ulama ahli hadits yang banyak melakukan
perjalanan sampai ke ujung-ujung dunia dalam rangka menuntut ilmu.” Adapun para
ulama yang menuntut ilmu kepada beliau adalah; al-Imam Abu Isa at-Tirmidzi
(teman beliau), al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, kedua
putra beliau yaitu Abdullah bin Abi Dawud dan Abu Bakar bin Abi Dawud, Abu
Bisyr ad-Daulabi, Abdurrahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi, Abu Bakar bin Abi
Dunya, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Khallal al-Faqih dll. Bahkan disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa al-Imam Ahmad pernah meriwayatkan satu hadits dari
beliau.
Beliau
tinggal di kota Baghdad selama beberapa waktu sambil menyebarkan ilmu di kota
tersebut. Dan tidak terhitung berapa kali banyaknya beliau singgah di kota
Baghdad. Terakhir beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 272 H.
Beliau
mengatakan, “Aku mencatat hadits-hadits Rasulullah sebanyak 500.000 hadits.
Kemudian aku memilih dari sekian hadits tersebut untuk aku letakkan ke dalam
kitab Sunan-ku.” Di dalam kitab Sunan beliau terkandung 4800 hadits. Dalam
salah satu riwayat disebutkan bahwa jumlah hadits yang tertulis dalam Sunan Abi
Dawud mencapai 5274 hadits.
Karya Tulis Beliau
1. Kitab Sunan (Sunan Abi Dawud)
2. Al-Masa`il Allati Khalafa ‘alaiha al-Imam Ahmad bin
Hanbal.
3. Ijabatuhu ‘ala Su`alat al-Ajurri
4. Risalah fi Washfi Ta’lifihi li Kitab Sunan
5. Az-Zuhd
6. Tasmiyah Ikhwah Alladzina Rawa ‘anhum al- Hadits.
7. Kitab Marasil
8. Kitab fi Rijal
9. Kitab al-Qadr
10. Kitab Nasikh
11. Musnad Malik
12. Kitab Ashab asy-Sya’bi[3]
Sistematika Penyusunan Kitab
Kitab ini
disusun berdasarkan urutan bab fiqih, yang mempermudah pembaca ketika mencari
hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu, khususnya masalah yang
berhubungan dengan fiqh. Dalam kitab sunan ini Abu Dawud membagi haditsnya
dalam beberapa kitab dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Dengan
perincian: kitab ini terdiri dari 35 kitab, 1871 bab, serta 4800 hadits. Akan
tetapi menurut Muhyiddin Abdul Hamid
jumlah haditsnya 5274. Perbedaan penghitungan ini tidak aneh, karena Abu Dawud
sering mencantumkan sebuah hadits di tempat yang berbeda, hal ini dilakukan untuk
menjelaskan suatu hukum dari hadits tersebut dan di samping itu untuk
memperbanyak jalur sanad.
Pendapat Ulama’
· Abu Sa’id
al’Arabi (murid Abu Dawud) mengatakan bahwa: andaikan seseorang tidak memiliki
ilmu kecuali mushaf yang berisi alQur’an dan kitab ini, maka keduanya sudah
memadai (tanpa membutuhkan kitab lain).
Abu Sulaiman al-Khitabi menyatakan: ketahuilah bahwa
kitab Sunan Abu Dawud ini merupakan karya yang tiada tandingan, dan telah
diterima secara kaffah oleh umat dan dijadikan pijakan hukum diantara kelompok
ulama dan fuqaha ketika mereka berbeda pendapat.
· An-Nawawi
dan beberapa ulama lain menyatakan bahwa sebaiknya bagi kalangan pengkaji fiqh
menjadikan kitab sunan Abu Dawud ini sebagai i’tibar dan memahaminya secara
sempurna, karena keagungan hadits hukum di dalamnya yang disusun secara mudah
bagi mereka yang hendak melacak hukum di dalamnya serta berbagai kelebihan
lainnya.
D.
Imam At-Tirmidzi Dengan Kitab Sunan
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Tsaurah Bin Musa Bin ad-Dahaq
as-Sulami at-Tirmiz. Imam Tirmizi lahir pada bulan zullhijjah tahun 209 H (824
M). Kakeknya dahulunya merupakan orang Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan
menetap disana, lalu di kota inilah terlahirnya imam at-Tirmizi. Sejak kecil ia
sudah suka mempelajari ilmu hadis dan melakukan perjalanan ke beberapa negri
untuk mendapatkan ilmu. Dalam perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa
ulama besar ahli hadis dan belajar hadis bersama mereka.
Imam
Tirmizi lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan dalam kitab al-Jami’nya, ia
selalu memakai nama Abu Isa, meskipun sebagian ulama sangat membenci sebutan
tersebut dengan berargumen kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan
oleh Abu Syaibah bahwa “seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa,
karena, Isa tidak punya ayah”. Namun, tetap saja ini tidak berpengaruh, karena,
hal ini dimaksudkan untuk membedakan at-Tirmizi dengan ulama yang lain.
Ia meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan.
Diantaranya adalah Imam Bukhori, kepadanya ia belajar hadits dan fiqh. Ia juga
belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Guru beliau lainnya adalah:
·
Qutaibah
bin Said
·
Ishaq
bin Rahawahib
·
Muhammad
bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balqi
·
Mahmud
bin Galani
·
Isma’il
bin Musa al-Fazari
Hadits-hadits
dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama yang mayoritas
mereka adalah murid-muridnya. Diantaranya adalah: Makhul bin Fadl, Muhammad bin
Mahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, Ai-bd bin Muhammad an Nasfiyyun, al Haisam
bin Kulaib asy Syasyi, Ahmad bin Yusuf an Nasa’I, Abul ‘Abbas Muhammad bin
Mahbub al Mahbubi. Mereka meriwayatkan kitab Jami’nya dan kitab-kitab yang
lain.
Karya-karya Imam Tirmidzi
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab, diantaranya:
·
Al
Jami’ as Sohihain, yang terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi
·
Kitab
I’Illal
·
Kitab
Tarikh
·
Kitab
as-Sama’il al-Nabawiyyh
·
Kitab
al-Zuhud
·
Kitab
al-Asma; wa al-Kuna
Metode Kitab Sunan Al Tirmidzi
Judul
lengkap kitab al–Jami’al–Shahih adalah
al-Jami’al–Mukhtasharminal–Sunan‘anRasulillah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wa
Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’ ‘alaihi al-‘Amal. Meski demikian kitab
ini lebih popular dengan nama al–Jami’al–Tirmidzi atau Sunanal–Tirmidzi.Untuk
kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh ulama. Adapun yang
menjadi pokok perselisihan adalah ketika kata-kata shahih melekat dengan nama
kitab. Al-Hakim (w. 405 H) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 483 H) tidak keberatan
menyebut dengan Shahihal–Tirmidzi atau al–Jami’al–Shahih.Berbeda dengan Ibn
Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu
gegabah, sebab di dalam kitab al–Jami’al–Tirmidzi tidak hanya memuat hadis
shahih saja, akan tetapi memuat pula hadis-hadis hasan, dha’if dan munkar,
meskipun al-Tirmidzi selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan
ke-munkar-annya.
Dalam meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode
yang berbeda dengan ulama-ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh
al-Tirmidzi:
1. Men-takhrij
hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.
Dalam kitabnya, al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis,
kecuali hadis yang diamalkan oleh fuqaha’, kecuali dua hadis, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan
Ashar dan Maghrib dengan Isya’, tanpa adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan
tidak pula karena hujan”.
“Apabila seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan
jika ia kembali minum khamar pada yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.
·
Hadis
pertama, menerangkan tentang men-jama’ shalat. Para ulama tidak sepakat untuk
meninggalkan hadis ini, dan boleh hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah
selama tidak dijadikan kebiasaan. Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian
ahli fiqih dan ahli hadis.
·
Hadis
kedua, menerangkan bahwa peminum khamarakan dibunuh jika mengulangi perbuatannya
yang keempat kalinya. Hadis ini menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’ ulama.
Dengan demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi
mencantumkan hadis tersebut, adalah untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis,
yaitu telah di-mansukh dengan hadis riwayat al-Zuhri dari Qabisah bin Zawaib
dari Nabi, yang menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa kepada Rasul.
Kemudia Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.
2. Memberi
penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.
Salah
satu kelebihan al-Tirmidzi adalah ia mengetahui benar keadaan hadis yang ia
tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan para ulama tentang keadaan
hadis yang ia tulis. Dalam kitab al–Jami’, al-Tirmidzi mengungkapkan :
“Dan apa yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai
‘ilal hadis, rawi ataupun sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij dari
kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah hasil diskusi saya
dengan Muhammad bin Isma’il (al-Bukhari)”.
Pada kesempatan lain al-Tirmidzi juga mengatakan :
“Dan kami mempunyai argumen yang kuat berdasarkan
pendapat ahli fiqih terhadap materi yang kami terangkan dalam kitab ini”.
Dengan
demikian dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadis dimaksudkan
olah al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadis bersangkutan. Menurut
al-Hafiz Abu Fadhil bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang
ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai standarisasi periwayatan hadis, yaitu:
a) Hadis-hadis
yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
b) Hadis-hadis
yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu
hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan
ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
c) Hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan
menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
d) Hadis-hadis
yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak.
Tentu saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’ifmatruk.
Isi Kitab Sunan Al Tirmidzi
Kitab
al-Jami’al-Shahih ini memuat berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya
yaitu; al-aqa’id (tentang tauhid), al-ahkam (tentang hukum), al-riqaq (tentang
budi luhur), adab (tentang etika), al-tafsir (tentang tafsir al-Qur’an),
al-tarikhwaal-siyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), al-syama’il
(tabi’t), al-fitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan
al-manaqibwaal-masalib (tentang biografi sahabat dan tabi’in). Oleh sebab itu
kitab hadis ini disebut dengan al-Jami’.Secara keseluruhan, kitab
al-Jami’al-Shahih atau Sunanal-Tirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab dan
3956 hadis.
Menurut
al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam al-Jami’al-Shahih, telah diamalkan ulama’
Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain (dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Katsir
meriwayatkan dari al-Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah menyusun kitab Musnad
yang shahih ini dan telah aku tunjukkan kepada para ulama Hijaz, Iraq, Khurasan
dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya terdapat kitab ini, maka
seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang bersabda), kecuali dua hadis
(yang telah dibahas dimuka). Hadis ini diperselisihkan ulama baik segi sanad
maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak
dengan alasan-alasan yang berdasarkan naqli maupun akal.[4]
E. Imam
An Nasa’i Dengan Kitab Sunan
Imam
al-Nasa'i nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syu'aib bin Ali bin Sinan bin Bahr
bin Dinar, dan diberi gelar dengan Abu Abd al-Rahman al-Nasai. Beliau dilahirkan
pada tahun 215 H di kota Nasa' yang masih termasuk wilayah Khurasan. Kepada
tempat kelahiran beliau inilah namanya dinisbatkan. Di kota Nasa' ini beliau
tumbuh melalui masa kanak-kanaknya, dan memulai aktifitas pendidikannya dengan
menghafal al-Quran dan menerima berbagai disiplin keilmuan dari guru-gurunya.
Tatkala beliau menginjak usia remaja timbulah keinginan dalam dirinya untuk
mencari hadits Nabi. Maka ketika usianya menginjak 15 tahun, mulailah beliau
mengadakan perjalanan ke hijaz, Irak, Syam, dan daerah-daerah lainnya yang
masih berada di Jazirah Arab untuk mendengarkan dan mempelajari Hadits Nabi
dari para ulama yang di kunjunginya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh itu,
tidaklah heran kalau beliau sangat piawai dan unggul dalam disiplin ilmu
hadits, serta sangat menguasai dan ahli dalam ilmu tersebut.
Pengakuan Ulama Hadis atas
Kapasitas Keilmuannya
Imam
al-Nasai telah diakui keutamaan, keahlian dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu
hadis oleh murid-muridnya dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi
murid-muridnya. Diantaranya sebagai berikut:
1.Abu Ali al-Nisaburi al-Hafiz suatu saat ia berkata:
al-Nasai adalah seorang Imam yang tidak diragukan lagi keahliannya dalam bidang
ilmu hadis.
2.Al-Dar al-Qutni mengatakan bahwa Imam al-Nasai adalah
orang yang didahulukan selangkah dalam bidang ilmu hadis pada masanya ketika
orang membicarakan keilmuan hadis. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan
statemen Hamzah al-Sahmi yang bertanya pada al-Qutni tentang siapa yang harus
didahulukan antara Abdurrahman al-Nasai dan Ibnu Huzaimah ketika keduanya
sama-sama membacakan sebuah hadis, lalu al-Dar al-Qutni menjawab : "Tidak
ada orang yang menyamai dan didahulukan dari pada Abu Abdurrahman (al-Nasai)
dalam bidang ilmu hadis, tidak ada orang yang wara' seperti dia, dia adalah
syekh di Mesir yang paling pintar pada masanya dan yang paling mengetahui dan
mengerti tentang ilmu hadis".
3.Ibnu kasir: al-Nasai adalah seorang Imam pada masanya
dan orang yang paling utama dalam bidangnya.
Kitab-Kitab Karya Imam
al-Nasa’i
Imam
al-Nasai dikenal sebagai ulama hadis yang sangat teliti terhadap hadis dan para
rawi. Ini terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadis yang dapat diterima
atau ditolak sangat tinggi,begitu juga halnya dengan penetapan kriteria seorang
rawi mengenai siqoh atau tidaknya. Dalam hal ini, al-Hafiz Abu Ali memberikan
komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh imam al-Nasai bagi para perawi
hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh
imam Muslim. Demikian pula al-Hakim dan al-Khatib mengatakan komentar yang
kurang lebih sama dengan al-Hafiz Abu Ali. Sehingga ulama Magrib lebih
mengutamakan sunan al-Nasai daripada Sahih al-Bukhari.
Begitu
selektifnya Imam al-Nasai dalam menetapkan sebuah kriteria seorang rawi,
sehingga beliau berhasil menyusun beberapa kitab, diantaranya adalah sebagai
berikut :
a.Al-Sunan al-Kubra
b.Al-Sunan al-Sugra, yang dinamakan juga dengan kitab
al-Mujtaba. Kitab ini merupakan ringkasan dari isi kitab al-sunan al-kubra.
c.Musnad Malik.
d.Manâsik al-Hajj
e.Kitâb al-Jum'ah
f.Igrab Syu'bah 'Ali Sufyan 'Ali Syu'bah
g.Khasâis 'Ali bin Abi Talib Karam Allah Wajhah,
h.'Amal al-Yaum wa al-Lailah 'Ajaj al-Khatib menyebutkan
dalam bukunya "Usûlal-Hadis " bahwa al-Nasai mengarang kurang lebih
15 buku dalam bidang ilmu hadis,dan yang paling utama dan masyhur diantaranya
adalah kitab al-Sunan, yang akhirnya terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasai.
Dan kitab-kitab yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat hanya 5 buah
kitab, yaitu :
1.Sunan al-Kubra, kitab koleksi hadis yang pertama kali
disusun oleh Imam al-Nasa’i, di dalamnya berbaur antara hadis shahih (termasuk
shahih menurut kriteria penilikan al-Nasa’i) dan hadis-hadis ber ‘illat
(ma’lul) sejauh diketahui unsur ‘illatnya. Popularitas Sunan al-Kubra bertahan
sampai pada abad XI H.
2.Sunan al-Sughra, disebut juga al-Muntakhab, al-Mujtana
min al-Sunan, populer kemudian dengan nama “al-Mujtaba” yang oleh kalangan
muhaddisin dikenal dengan Sunan al-Nasa’i ; 3.Al-Khasais diselesaikan ketika
menetap sementara di wilayah Damascus, berisi rangkuman reputasi kepribadian,
keilmuan dan prestasi kemiliteran/pemerintahan Ali bin Abi Thalib beserta
ahlul-bait Nabi Muhammad SAW;
4.Fadha-il al-Sahabat ;
5.Al-Manasik (artikel bermateri fiqh yang mendasarkan
orientasinya kepada sunnah/hadis dan cenderung memasyarakatkan hukum amaliah
persi syar’iyyah).
Metode Penyusunan dan Sistematika
Kitab Sunan al-Nasai
a. Dilihat dari namanya, maka kita akan segera tahu bahwa
kitab hadis al-Nasai ini disusun berdasarkan metode sunan. Kata sunan adalah
jamak dari kata sunnah yang pengertiannya juga sama dengan hadis. Sementara
yang dimaksud dengan metode sunan di sini adalah metode penyusunan kitab hadis
berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah).
b. Dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari
Nabi Muhammad Saw saja (hadis marfu'). Bila terdapat hadis-hadis yang bersumber
dari sahabat (mauquf) atau tabi'in (maqtu'), maka relatif jumlahnya hanya
sedikit.
c. Sistematika penyajian hadis dalam sunan al-Nasai
menyerupai tertib sistem kitab fiqh serta masing-masing kelompok hadis yang
satu materi dilengkapi dengan judul sub bab yang mewakili persepsi hasil
analisis Imam al-Nasa’i terhadap inti kandungan matan hadis yang bersangkutan.
Mengawali penyajian setiap hadis, di terangkan sanad lengkap setiap matan,
perhatian khusus mengenai proses tahdis (sighat tahdis), dan matan hadis selengkapnya.
Di belakang matan tidak terdapat embel-embel kecuali keterangan singkat
mengenai mukharrij yang menjadi referensi hadis dan informasi sederhana tentang
unsur ‘illat hadis (bila diketahui hadis bersangkutan berillat).
d. Pengeditan matan hadis ditekankan pada upaya
mempertahankan keaslian redaksi (riwayat bil-lafdzi). Imam al-Nasa’i agak peka
terhadap dugaan lahn (rancu) dalam bahasa matan hadis, karenanya beliau dengan
cermat mencari idiom serupa pada suku-suku pemakai bahasa klasik, sebab bisa
diasumsikan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa berkomunikasi dengan bahasa
mereka termasuk pemanfaatan idiom-idiom bahasa mereka. Bagi yang mencermati
kitab sunan Nasa’i akan mendapatkan bahwa beliau mengumpulkan dalam kitabnya
ini hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum. Karenanya kitab sunan tidak
mencantumkan hadits-hadits yang berkaitan dengan tafsir, akhbar (berita sebelum
nubuwwah), manaqib (derajat para sahabat), maupun mawa’idz (wejangan-wejangan).
Rahasianya adalah karena beliau memilih hadits-hadits tadi terkhusus masalah
hukum. Yaitu dari kitabnya “As Sunan Kubro”.
Kalau kita ingin mengklasifikasikan isi kitab tersebut
adalah sebagaimana berikut ini :
a.
Dari
kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan
shalat. Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.
b.
Beliau
mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.
c. Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian
rampasan perang” dengan “jihad”. d. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al
khail dengan jihad.
e.
Imam
nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan
tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada
kitab faraidh (pembagian waris).
f. Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan
dzabaih. Juga beliau memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya
g.
Beliau
mengakhirkan kitab iman. h.Kitab iman dengan kitab isti’adzah sajalah yang
tidak membahas tentang hukum.[5]
F. Ibnu
Majah Dengan Kitab Sunan
Ibnu
Majah, atau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin
Majah al-Rab'i al-Quzwaini adalah seorang ahli hadis yang terkenal kerana
menyusun kitab Sunan Ibnu Majah. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Sebutan
Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah
Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyatakan bahawa Majah adalah ayah dari
Yazid. Namun demikian, pendapat pertama adalah lebih rajah. Manakala perkataan
al-Qazwani adalah berasal daripada Qazwain iaitu nama sebuah Bandar yang
termasyhur di Iraq.
Ulama
yang dikenali dengan sifat kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di
Qazwin, Irak. Beliau dilahirkan pada tahun 207 H. Ibnu Majah mulai belajar
sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15
tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi
(w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang
membuat Ibnu Majah mengemabar ke beberapa daerah dan negara untuk mencari,
mengumpul, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antaranya ialah
Rayy (Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir. Dengan cara
inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan Hadis
dari sumber-sumber yang dipercayai kesahihannya. Malah dalam berbagai
kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu
Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar,
Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli Hadis,
Imam Malik serta Al-Lays. Dari pengembaraannya ini, terdapat ramai ulama yang
telah meriwayatkan Hadis dari Ibnu Majah. Antaranya ialah Ishaq bin Muhammad,
Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.
Sepanjang
hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang Hadis,
sejarah, feqh dan tafsir. Di bidang tafsir, beliau telah menulis Tafsir
Al-quranul Karim. Sementara di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku
At-Tariikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi Hadis sejak awal
hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua
karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya. Karyanya yang
menjadi monumental dan terkenal di kalangan kaum muslimin adalah hasil karyanya
di bidang Hadis yang berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya
terbesar beliau. Dalam kitabnya itu, Ibnu Majah telah meriwayatkan sebanyak
4000 buah Hadis seperti yang diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku
Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab
Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya
termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain. Ia bukan hanya melingkungi
hukum Islam, malah turut membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dan
daripada banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama
mengkategorikan sebahagiannya sebagai Hadis lemah. Pada asalnya, kitab Sunan
Ibnu Majah ini tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok
kutubus sittah kerana dalam kitabnya ini terdapat hadith yang daif bahkan
hadith munkar. Oleh karena itu para ulama’ memasukkan kitab Al-Muwaththa karya
Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut Ibnu Hajar
ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah ke dalam
kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf,
kemudian disokong pula Abdul Ghani dalam kitabnya Asmaur Rizal. Namun begitu,
kedudukan Sunan Ibnu Majah di dalam al-Sunan al-Sittah adalah dikatakan paling
rendah sekali karena didapati banyak hadith dhaif dan dikatakan juga terdapat
hadith maudu’ di dalamnya.[6]
Metode Penghimpunan Hadis
Adapun
permasalahan metode penghimpunan hadits-hadits yang dilakukan oleh Ibnu Majah
nampaknya tidak dapat diketahui dengan mudah meskipun kita membaca kitab
tersebut. Sehingga para ulama melakukan ijtihad tentang metode yang dilakukan
oleh Ibnu Majah. Para ulama menduga bahwa kitab hadits yang dikarang oleh Ibnu
Majah disusun berdasarkan masalah hukum. Disamping itu juga ia memasukan
masalah-masalah lainnya diantaranya tentang masalah zuhud, tafsir dan
sebagainya. Dan hadits-hadits yang terdapat dalam kitabnya terdapat hadits yang
mursal dengan tidak menyebutkan periwayat ditingkat pertama (sahabat). Hadits
semacam itu dalam Kitab Sunan Ibnu Majah terdapat kurang lebih 20 hadits.
Sedangkan jika hadits-hadits yang terdapat dalam Kitab Sunan Ibnu Majah dilihat
dari segi kualitasnya terdapat berbagai macam-macam hadits: Shahih, hasan
bahkan ada yang dha’if, munkar, batil, maudhu’. Hadits-hadits yang dinilai
cacat tersebut dalam kitabnya tidak disebutkan sebab atau alasan kenapa Ibnu
Majah memasukan hadits tersebut dalam kitabnya.
Pandangan Ulama Terhadap Kitab
Sunan Ibn Majjah dan kedudukannya
Kitab Sunan Ibn Majjah masih diperselisihkan
keberadaanya dalam kutub al-sittah oleh para ulama. Ibn Tahir al-Maqdisi adlah
ulama yang kali pertama memasukkan kitab Sunan Ibn Majjah dalam kutub
al-sittah. Pendapat tersebut diikuti oleh ulma lainketika memberikan komentar
terhadap Ibn Majjah, seperti Ibn Hajar al-Asqalani, al-Mizzi dan al-Dzahabi.
Mereka menilai berdasarkan komentar Abu Zur’ah yang mengatakan bahwa kitab ini
telah berada pada orang banyak niscaya mereka akan beristirahat untuk
membacanya. Mereka juga memuji terhadap sosok pengarangnya, Ibn Majjah yang di
nilai seorang yang hafiz dan mempunyai pengetahuan yang luas. Di samping itu,
adanya hadis-hadis lain yang tidak ditemukan di dalam kitab hadis sebelumnya
(kutub al-khamsah) yang disebut dengan istilah zawa’id.
Berdasarkan
hal tersebut, kitab Sunan Ibn Majjah merupakan kitab hadis yang mempunyai ciri
khas tersendiri dengan adanya hadis yang tidak di jumpai dalam lima kitab
sebelumnya. Hal ini patutdihargai dengan banyaknya ragam hadis yang dimuat
didalamnya bukan berarti kitab hadis ini menjadi rendah martabatnya melainkan
hal tersebut dapat dijadikan lahan untuk penelitian lebih lanjut. Apabila masih
ditemukan nilainya lemah, maka disarankan dalam berhujjah untuk menggunakan dalil
yanaga lebih kuat.
Kelebihan Dan Kekurangan Kitab
Sunan Ibn Majjah
Kitab
ini menyajikan sedikit sekali pengulangan, dan merupakan salah satu yang
terbaik dalam pengaturan bab dan sub bab, suatu kenyataan yang diakui oleh
banyak ulama. Diantara kelebihan-kelebihan Kitab Sunan Ibn Majjah Ini ialah:
Keunggulan kitab ini adalah terletak pada cara
pengemasannya. Dan pengemasan seperti akan dapat mempermudah seseorang untuk
mencari hadis.
Memuat hadis-hadis yang tidak ditemukan dalam kutub
al-khamsah.
Jumlah pasal-pasal dalam kitab sunan Ibn Majah banyak dan
ditata dengan baik dengansedikit sekali adanya pengulangan.
Sudah barang tentu, dibalik keunggulan diatas, ternyata
Kitab Sunan Ibn Majjah juga terdapat kelemahan, dan kelemahan-kelemahan itu ialah:
Minimnya informasi atas hadis-hadis yang dinilai da’if
dan maudu’ perlu penelitian lebih jauh atas hadis-hadis yang dinilai da’if.
Dalam kitab ini terdapat hadis-hadis yang bernilai da’if,
munkar, batil, dan bahkan maudu, ibnu Majah pun tidak menjelaskan
sebab-sebabnya.
Kitab Syarah Sunan Ibn Majjah
Kitab
Sunan Ibnu Majah nampaknya kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan
kitab-kitab hadits lainnya seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi
Dawud. Hal tersebut terlihat dari minimnya kitab syarah tentang Sunan Ibnu
majah. Diantara kitab Syarah Sunan Ibnu Majah adalah:
·
Kitab
Syarah yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani (wafat tahun 1138 H ) yakni
Syarah Sunan Ibnu Majah. Kitab syarah ini tidak ditulis dengan lengkap, hanya
ditulis secara ringkas dan terbatas pada permasalahan yang penting-penting
saja. Kitab syarah ini ditulis di bagian pinggir dari kitab Sunan Ibnu Majah.
·
Kitab
Syarah yang ditulis oleh al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuti’ (wafat tahun 911 H)
dengan nama Misbaahuz Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Akan tetapi kitab syarah
ini juga sama dengan ketab yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani hanya
menguraikan dengan singkat dan terfokus pada permasalahan yang penting saja.
·
Kitab
Syarah yang ditulis oleh al-Muglata’i (w. 762 H) yakni al-I’Iam bi Sunanihi
alaih al-Salam.
·
Kitab
yang ditulis oleh al-Kamaluddin ibn Musa al-Darimi (w. 808 H) yakni Syarah
Sunan Ibnu Majah.
·
Kitab
yang ditulis oleh Ibrahim ibn Muhammad al-Halabi yakni Syarah Sunan Ibnu Majah.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah Kutubus Sittah digunakan untuk menyebut enam
kitab induk hadits, yaitu :
1. Shahih Al Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Sunan An Nasa`I
4. Sunan Abi Dawud
5. Sunan At Tirmidzi
6. Sunan Ibnu Majah
Kutubu
Sittah ini termasuk Diantara kitab yang terbagus penulisan dan penyusunannya,
paling banyak benarnya dan sedikit kesalahannya, paling meluas umum manfaatnya
dan paling banyak faidahnya, paling besar barakahnya, paling mudah
kesukarannya, paling baik penerimaannya disisi orang pro dan kontra dan paling
penting posisinya dikalangan semua orang.
Masing-masing
kitab enam tersebut memiliki ciri khas yang hanya diketahui oleh orang yang
ahli dibidang ini, sehingga kitab-kitab tersebut dikenal oleh manusia dan
tersebar diseluruh pelosok negeri Islam dan pemanfaatannya menjadi besar serta
para penuntut ilmu berusaha keras untuk mendapatkannya dan memahaminya.
Banyak
sekali karya tulis berupa syarah dan ta’liq terhadap kitab-kitab tersebut.
Sebagiannya mengkaji tentang mengenal isi kandungan dari matan-matan hadits
yang termuat didalamnya, dan sebagian yang lain mengkaji tentang mengenal
kandungan sanad-sanadnya, sebagian yang lain mengkaji tentang gabungan semua
itu.
B.
Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah
yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar
pustaka.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pcimmesir.com/2015/02/metode-imam-bukhari-dalam-meriwayatkan.html
http://buletin-alilmu.net/2011/09/21/imam-abu-dawud/
http://mazroatulislahiyahfai.blogspot.co.id/
https://alquranassyifa.wordpress.com/2014/01/02/kitab-sunan-ibn-majjah/



No comments:
Post a Comment