Tuesday, January 24, 2017

ULAMA-ULAMA HADIST

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada masa Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Dalam mempelajari hadits kita tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berkenaan dengan hadits saja, tetapi kita juga perlu mempelajari tokoh-tokoh yang telah berjasa besar dalam memelihara dan menyebarluaskan hadits-hadits Nabi yang merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Berkat jasa merekalah hadits-hadits Nabi saw sampai di tangan kita. Para ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama yang menempati posisi khusus dalam umat ini.
Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan peranan mereka yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam.Inilah keistimewaan ulama hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa sunnah Nabi, yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran. Sunnah Rasulullah merupakan muara yang padanya setiap cabang ilmu agama akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Jelaskan tokoh tokoh ulama hadist beserta kitabnya?

C.     TUJUAN
1.      Mengetahui tokoh tokoh ulama hadist beserta kitabnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Imam Bukhori Dengan Hadist Shahih

Nama lengkap Imam Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja'fi. Ia lebih di kenal dengan sebutan Imam Bukhari. Diantara para ahli hadits, beliaulah yang paling masyhur hingga sekarang. Hadits-hadits riwayat Imam Bukhari lebih di unggulkan oleh para ulama daripada riwayat ahli hadits lainnya, seperti Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan lainnya. Kenapa seperti  demikian, tidak lain karena tingkat keshahihan hadits yang beliau riwayatkan sangatlah akurat. Ayah Imam Bukhari terkenal sebagai orang yang berilmu, ia juga sangat wara’, menjaga diri dari hal-hal yang syubhat. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun harta yang haram maupun yang syubhat.” Maka jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama, wara dan terjaga dari hal-hal yang syubhat. Tidak heran jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya.

Metode Periwayatan Imam Bukhari
Pembahasan mengenai metode Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadits, maka tidak akan jauh dari metode beliau dalam menyeleksi hadits-hadits beliau ke dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari adalah orang pertama yang menyusun sebuah kitab yang di dalamnya murni berisi hadits shahih. Kitabnya bernama 'Al Jâmi‘ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar Min Umûri Rasûli’Llâh Saw. Wa sunanihi Wa Ayyâmihi'. Di sebut al-Jâmi' karena kitab ini hampir mencakup apa saja yang di butuhkan oleh umat Islam, baik untuk urusan agama, dunia, maupun akhirat mereka. Dikatakan al-Musnad karena semua sanad haditsnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw.. Dikatakan al-Shahîh karena di dalam kitab tersebut tidak ada satu hadits pun kecuali ia shahih, bahkan ‘Ashahhu al-Shahîh’, paling shahih di antara yang shahih. Di katakan al Mukhtashar karena kitab ini tidak mencakup seluruh hadits shahih, melainkan ‘Ashahhu al-Shahîh’ saja.

Ada dua riwayat mengenai faktor yang mendorong Imam Bukhari dalam menyusun kitabnya:
1. Ibrahim bin Ma'qil al Nisfi meriwayatkan dari Imam Bukhari, ia berkata: suatu ketika kami berada pada Ishaq bin Rohuwiyah, maka ia berkata: “Hendaknya kalian mengumpulkan ke dalam sebuah kitab yang meringkas sunnah-sunnah nabi Saw. yang shahih,” kemudian ia berkata: “Maka hal itu terdetik dalam hatiku, kemudian setelah itu aku mulai mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab al-Jâmi' al-Shahîh.”
Diriwayatkan darinya lagi, bahwasannya Imam Bukhari berkata:
2.   Aku melihat Rasulullah Saw. dalam mimpi, seakan-akan aku berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah kipas." Setelah itu Aku menanyakan hal itu kepada sebagian ahli ta'bir. Maka mereka mengatakan kepadaku, "Bahwasanya kamu akan mengikis habis kedustaan yang ditujukan kepada nabi Saw.. Hal itulah yang mendorongku untuk menyusun al-Jâmi' al-Shahîh. Ia juga berkata: "Aku mengarangnya dalam waktu lebih dari 10 tahun".
Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadits selalu menerapkan metode ilmiah yang sangat detail. Beliau menggunakan standar keshahihan hadits yang sangat tinggi. Dengan metode demikianlah keshahihan hadits-hadits Imam Bukhari dapat dipertanggungjawabkan. Beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadits kecuali ia telah menyeleksi para perawi dan benar-benar yakin akan keshahihan hadits tersebut. Imam Bukhari selalu membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkannya, menyaringnya kemudian memilah mana yang menurutnya paling shahih. Dalam sebuah riwayat Imam Bukhari mengatakan: “Aku susun kitab al-Jâmi‘ ini yang di pilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Imam Bukhari hafal ratusan ribu hadits lengkap beserta sanad dan pengetahuan para perawinya. Kendati demikian tidak semua hadits yang beliau hafal kemudian ia riwayatkan dan ia masukkan ke dalam kitabnya, melainkan ia menyeleksi dengan sangat ketat sanad dari hadits tersebut, apakah ia bersambung atau tidak. Keadaan para perawi hadits tersebut tidak luput dari pemeriksaannya, apakah ia tsiqah atau tidak. Sehingga ketika ia mendapati seorang perawi yang diragukan kejujurannya, ia pun meninggalkan hadits tersebut untuk tidak ia riwayatkan. Adapun jika perawinya tidak jelas kapabilitasnya atau terlebih lagi jika perawinya jelas akan kebohongannya, maka dengan tidak ragu ia tinggalkan hadits tersebut. Beliau berkata: "Aku tinggalkan 10.000 hadits yang di riwayatkan oleh perawi yang perlu di pertimbangkan.”
Imam Bukhari dalam perjalanannya mencari hadits telah bertemu banyak sekali para perawi hadits dan ulama. Dengan teliti ia mencatat keadaan para ulama dan perawi tersebut, untuk nantinya ia jadikan bahan pertimbangan mengenai mereka. Demi mendapatkan sebuah hadits tidak tanggung-tanggung Imam Bukhari berjalan dari satu negera ke negera yang lain, meskipun jarak antara negara-negara tersebut sangatlah jauh. Berharap mendapatkan keterangan tentang sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi, seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz dan lainnya. Beliau mengatakan: "Aku telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali Aku mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."

Komparasi Metode Imam Bukhari dengan Muslim
Imam Bukhari adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits yang di dalamnya hanya terdapat hadits shahih. Kemudian setelah Imam Bukhari adalah Muslim. Muslim adalah murid dari Imam Bukhari. Berkaitan dengan perbandingan metode Imam Bukhori dengan Muslim, maka tidak jauh pula dari metode penulisan kitab shahih mereka berdua. Keduanya memiliki keutamaan yang luar biasa dalam periwayatan hadits shahih. Kitab Bukhari lebih shahih daripada kitab yang di susun oleh Muslim, dan lebih banyak faidahnya. Meskipun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa kitab Muslim lebih shahih dari kitab Bukhari. Namun pendapat yang benar adalah, kitab Bukhari lebih utama dari kitab Muslim. Karena kitab Bukhari sanad-sanadnya lebih kuat dan para perawinya lebih mutqin daripada kitab Muslim.

Keunggulan kitab Imam Bukhari dapat di tinjau dari beberapa aspek, diantaranya;
1. Bahwasannya hadits yang di riwayatkan Imam Bukhari sendiri (tidak di riwayatkan oleh Muslim) lebih dari 430 hadits, dan yang memberi komentar mengenai kelemahan hadits tersebut sebanyak 80 orang. Sedangkan yang di riwayatkan Muslim sendiri (tidak di riwayatkan oleh Bukhari) sebanyak 620 hadits, dan yang mengomentarinya ada sebanyak 160. maka tidak ragu lagi bahwa yang sedikit di komentari lebih utama daripada yang banyak mendapatkan komentar.
2. Adapun hadits Imam Bukhari yang mendapatkan komentar, ia mendapatkannya langsung dari gurunya yang secara langsung ia temui dan duduk bersamanya. Sehingga ia mengetahui persis keadaannya, telah ia telaah hadits-haditsnya, dan paham betul mana hadits yang baik dan mana yang tidak baik. Sedangkan Muslim, ia mendapatkan hadits tersebut dari orang-orang yang telah lewat masanya. Maka tidak di ragukan lagi, seorang muhaddits yang lebih tahu perkataan syaikh-nya lebih utama daripada yang tidak duduk langsung dengan syaikhnya.
3. Imam Bukhori adalah orang nomor satu dalam bidang hafalan, kemudian pada urutan kedua adalah Muslim. Terbukti dalam riwayat ketika ia di uji oleh 10 ulama yang memutar balikkan hadits, kemudian Imam Bukhari membenarkannya satu persatu.
4. Muslim menghukumi hadits 'mu'an'an' sebagai hadits yang shahih atau sanadnya bersambung, asalkan perowinya adalah satu masa, meskipun belum pernah bertemu. Akan tetapi Imam Bukhori tidak demikian. Bukhari mensyaratkan harus bertemunya kedua perowi.
Bahwasannya hadits-hadits riwayat mereka berdua yang mendapat kritikan sebanyak 210 hadits. Khusus riwayat Imam Bukhari yang mendapat kritikan kurang dari 80 hadits.[1]

B.     Imam Muslim Dengan Hadist Shahih
           Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah- daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar. Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits. Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
           Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya. Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW. Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan 26 hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya. Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada
Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun. Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata). Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli- ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Kitab Shahih Muslim
           Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
           Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari. Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al- Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari. Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis. Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.


Karya-karya Imam Muslim
           Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al- Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad. Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.[2]

C.       Imam Abu Dawud Dengan Kitab Sunan
           Beliau adalah seorang ulama panutan umat, ulama yang berpegang kuat dengan bimbingan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang memiliki hafalan yang kuat dan seorang ahli hadits kota Bashrah. Dia lah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amr bin Imran al-Azdi as-Sijistani atau yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Dawud as-Sijistani.
           Beliau dilahirkan pada tahun 202 H di daerah Sijistan. Sijistan adalah sebuah propinsi kecil yang berbatasan dengan daerah Sind (Pakistan). Terletak di sebelah barat Hirrah (Afghanistan), sebuah daerah di negeri Khurasan. Di sebelah selatannya adalah padang sahara yang tandus. Daerah Sijistan banyak dipenuhi oleh pepohonan kurma dan pasir. Al-Imam Abu Dawud tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan cahaya ilmu terutama ilmu hadits.

Perjalanan Menuntut Ilmu
           Rihlah (perjalanan) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka menuntut ilmu, telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan yang sangat penting sejak zaman para sahabat dan para ulama setelahnya terutama di dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
           Dengan penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah beliau berkeliling dunia, pindah dari satu negeri ke negeri lain, menuntut ilmu dari banyak ulama, mengumpulkan ilmu kemudian menulis dan mencapai puncak karirnya sebagai seorang ahli hadits. Di antara para ulama yang beliau temui tercatat 2 ulama yang sangat terkenal yaitu al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Imam Yahya bin Ma’in. Dari mereka berdua lah beliau belajar ilmu hadits. Beliau mulai melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu semenjak usia yang masih belia yaitu 18 tahun. Untuk pertama kalinya beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 220 H.
           Beliau berkata, “Aku memasuki kota Kufah pada tahun 221 Hijriyah.  Kemudian aku memasuki  kota Damaskus dan mencatat hadits dari Abu an-Nadhr al-Faradisi –seorang ulama yang banyak menangis– pada tahun 222 Hijriyah.”
           Di samping itu, beliau juga melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti Mesir, Saudi Arabia, Syam, Irak, Iran, Afghanistan, dan lain-lain dalam rangka menuntut ilmu kepada para ulama yang berada di negeri-negeri tersebut. Karena seringnya melakukan perjalanan di dalam menuntut ilmu, beliau mendapat julukan ar-Rahal (orang yang banyak melakukan perjalanan).
           Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah mengatakan, “Beliau termasuk salah seorang ulama ahli hadits yang banyak melakukan perjalanan sampai ke ujung-ujung dunia dalam rangka menuntut ilmu.” Adapun para ulama yang menuntut ilmu kepada beliau adalah; al-Imam Abu Isa at-Tirmidzi (teman beliau), al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, kedua putra beliau yaitu Abdullah bin Abi Dawud dan Abu Bakar bin Abi Dawud, Abu Bisyr ad-Daulabi, Abdurrahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi, Abu Bakar bin Abi Dunya, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Khallal al-Faqih dll. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa al-Imam Ahmad pernah meriwayatkan satu hadits dari beliau.
           Beliau tinggal di kota Baghdad selama beberapa waktu sambil menyebarkan ilmu di kota tersebut. Dan tidak terhitung berapa kali banyaknya beliau singgah di kota Baghdad. Terakhir beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 272 H.
           Beliau mengatakan, “Aku mencatat hadits-hadits Rasulullah sebanyak 500.000 hadits. Kemudian aku memilih dari sekian hadits tersebut untuk aku letakkan ke dalam kitab Sunan-ku.” Di dalam kitab Sunan beliau terkandung 4800 hadits. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa jumlah hadits yang tertulis dalam Sunan Abi Dawud mencapai 5274 hadits.
Karya Tulis Beliau
1. Kitab Sunan (Sunan Abi Dawud)
2. Al-Masa`il Allati Khalafa ‘alaiha al-Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Ijabatuhu ‘ala Su`alat al-Ajurri
4. Risalah fi Washfi Ta’lifihi li Kitab Sunan
5. Az-Zuhd
6. Tasmiyah Ikhwah Alladzina Rawa ‘anhum al- Hadits.
7. Kitab Marasil
8. Kitab fi Rijal
9. Kitab al-Qadr
10. Kitab Nasikh
11. Musnad Malik
12. Kitab Ashab asy-Sya’bi[3]

Sistematika Penyusunan Kitab
           Kitab ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, yang mempermudah pembaca ketika mencari hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu, khususnya masalah yang berhubungan dengan fiqh. Dalam kitab sunan ini Abu Dawud membagi haditsnya dalam beberapa kitab dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Dengan perincian: kitab ini terdiri dari 35 kitab, 1871 bab, serta 4800 hadits. Akan tetapi menurut  Muhyiddin Abdul Hamid jumlah haditsnya 5274. Perbedaan penghitungan ini tidak aneh, karena Abu Dawud sering mencantumkan sebuah hadits di tempat yang berbeda, hal ini dilakukan untuk menjelaskan suatu hukum dari hadits tersebut dan di samping itu untuk memperbanyak jalur sanad.

Pendapat Ulama’
·         Abu Sa’id al’Arabi (murid Abu Dawud) mengatakan bahwa: andaikan seseorang tidak memiliki ilmu kecuali mushaf yang berisi alQur’an dan kitab ini, maka keduanya sudah memadai (tanpa membutuhkan kitab lain).
Abu Sulaiman al-Khitabi menyatakan: ketahuilah bahwa kitab Sunan Abu Dawud ini merupakan karya yang tiada tandingan, dan telah diterima secara kaffah oleh umat dan dijadikan pijakan hukum diantara kelompok ulama dan fuqaha ketika mereka berbeda pendapat.
·         An-Nawawi dan beberapa ulama lain menyatakan bahwa sebaiknya bagi kalangan pengkaji fiqh menjadikan kitab sunan Abu Dawud ini sebagai i’tibar dan memahaminya secara sempurna, karena keagungan hadits hukum di dalamnya yang disusun secara mudah bagi mereka yang hendak melacak hukum di dalamnya serta berbagai kelebihan lainnya.

D.    Imam At-Tirmidzi Dengan Kitab Sunan
           Nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Tsaurah Bin Musa Bin ad-Dahaq as-Sulami at-Tirmiz. Imam Tirmizi lahir pada bulan zullhijjah tahun 209 H (824 M). Kakeknya dahulunya merupakan orang Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap disana, lalu di kota inilah terlahirnya imam at-Tirmizi. Sejak kecil ia sudah suka mempelajari ilmu hadis dan melakukan perjalanan ke beberapa negri untuk mendapatkan ilmu. Dalam perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa ulama besar ahli hadis dan belajar hadis bersama mereka.
           Imam Tirmizi lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan dalam kitab al-Jami’nya, ia selalu memakai nama Abu Isa, meskipun sebagian ulama sangat membenci sebutan tersebut dengan berargumen kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah bahwa “seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena, Isa tidak punya ayah”. Namun, tetap saja ini tidak berpengaruh, karena, hal ini dimaksudkan untuk membedakan at-Tirmizi dengan ulama yang lain.
Ia meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Diantaranya adalah Imam Bukhori, kepadanya ia belajar hadits dan fiqh. Ia juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Guru beliau lainnya adalah:
·      Qutaibah bin Said
·      Ishaq bin Rahawahib
·      Muhammad bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balqi
·      Mahmud bin Galani
·      Isma’il bin Musa al-Fazari
           Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama yang mayoritas mereka adalah murid-muridnya. Diantaranya adalah: Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, Ai-bd bin Muhammad an Nasfiyyun, al Haisam bin Kulaib asy Syasyi, Ahmad bin Yusuf an Nasa’I, Abul ‘Abbas Muhammad bin Mahbub al Mahbubi. Mereka meriwayatkan kitab Jami’nya dan kitab-kitab yang lain.
Karya-karya Imam Tirmidzi
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab, diantaranya:
·      Al Jami’ as Sohihain, yang terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi
·      Kitab I’Illal
·      Kitab Tarikh
·      Kitab as-Sama’il al-Nabawiyyh
·      Kitab al-Zuhud
·      Kitab al-Asma; wa al-Kuna


Metode Kitab Sunan Al Tirmidzi
           Judul lengkap kitab al–Jami’al–Shahih adalah al-Jami’al–Mukhtasharminal–Sunan‘anRasulillah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’ ‘alaihi al-‘Amal. Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama al–Jami’al–Tirmidzi atau Sunanal–Tirmidzi.Untuk kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh ulama. Adapun yang menjadi pokok perselisihan adalah ketika kata-kata shahih melekat dengan nama kitab. Al-Hakim (w. 405 H) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 483 H) tidak keberatan menyebut dengan Shahihal–Tirmidzi atau al–Jami’al–Shahih.Berbeda dengan Ibn Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab al–Jami’al–Tirmidzi tidak hanya memuat hadis shahih saja, akan tetapi memuat pula hadis-hadis hasan, dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidzi selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan ke-munkar-annya.
Dalam meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode yang berbeda dengan ulama-ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh al-Tirmidzi:
1.      Men-takhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.

Dalam kitabnya, al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis, kecuali hadis yang diamalkan oleh fuqaha’, kecuali dua hadis, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’, tanpa adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan tidak pula karena hujan”.

“Apabila seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan jika ia kembali minum khamar pada yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.
·         Hadis pertama, menerangkan tentang men-jama’ shalat. Para ulama tidak sepakat untuk meninggalkan hadis ini, dan boleh hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian ahli fiqih dan ahli hadis.
·         Hadis kedua, menerangkan bahwa peminum khamarakan dibunuh jika mengulangi perbuatannya yang keempat kalinya. Hadis ini menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’ ulama.
Dengan demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi mencantumkan hadis tersebut, adalah untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis, yaitu telah di-mansukh dengan hadis riwayat al-Zuhri dari Qabisah bin Zawaib dari Nabi, yang menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa kepada Rasul. Kemudia Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.

2.      Memberi penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.
           Salah satu kelebihan al-Tirmidzi adalah ia mengetahui benar keadaan hadis yang ia tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan para ulama tentang keadaan hadis yang ia tulis. Dalam kitab al–Jami’, al-Tirmidzi mengungkapkan :
“Dan apa yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai ‘ilal hadis, rawi ataupun sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij dari kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah hasil diskusi saya dengan Muhammad bin Isma’il (al-Bukhari)”.
Pada kesempatan lain al-Tirmidzi juga mengatakan :
“Dan kami mempunyai argumen yang kuat berdasarkan pendapat ahli fiqih terhadap materi yang kami terangkan dalam kitab ini”.
           Dengan demikian dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadis dimaksudkan olah al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadis bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu Fadhil bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai standarisasi periwayatan hadis, yaitu:
a)  Hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
b)  Hadis-hadis yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
c) Hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
d)  Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’ifmatruk.

Isi Kitab Sunan Al Tirmidzi
           Kitab al-Jami’al-Shahih ini memuat berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya yaitu; al-aqa’id (tentang tauhid), al-ahkam (tentang hukum), al-riqaq (tentang budi luhur), adab (tentang etika), al-tafsir (tentang tafsir al-Qur’an), al-tarikhwaal-siyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), al-syama’il (tabi’t), al-fitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan al-manaqibwaal-masalib (tentang biografi sahabat dan tabi’in). Oleh sebab itu kitab hadis ini disebut dengan al-Jami’.Secara keseluruhan, kitab al-Jami’al-Shahih atau Sunanal-Tirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab dan 3956 hadis.
           Menurut al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam al-Jami’al-Shahih, telah diamalkan ulama’ Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain (dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Katsir meriwayatkan dari al-Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah menyusun kitab Musnad yang shahih ini dan telah aku tunjukkan kepada para ulama Hijaz, Iraq, Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya terdapat kitab ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang bersabda), kecuali dua hadis (yang telah dibahas dimuka). Hadis ini diperselisihkan ulama baik segi sanad maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak dengan alasan-alasan yang berdasarkan naqli maupun akal.[4]

E.     Imam An Nasa’i Dengan Kitab Sunan
           Imam al-Nasa'i nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syu'aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar, dan diberi gelar dengan Abu Abd al-Rahman al-Nasai. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota Nasa' yang masih termasuk wilayah Khurasan. Kepada tempat kelahiran beliau inilah namanya dinisbatkan. Di kota Nasa' ini beliau tumbuh melalui masa kanak-kanaknya, dan memulai aktifitas pendidikannya dengan menghafal al-Quran dan menerima berbagai disiplin keilmuan dari guru-gurunya. Tatkala beliau menginjak usia remaja timbulah keinginan dalam dirinya untuk mencari hadits Nabi. Maka ketika usianya menginjak 15 tahun, mulailah beliau mengadakan perjalanan ke hijaz, Irak, Syam, dan daerah-daerah lainnya yang masih berada di Jazirah Arab untuk mendengarkan dan mempelajari Hadits Nabi dari para ulama yang di kunjunginya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh itu, tidaklah heran kalau beliau sangat piawai dan unggul dalam disiplin ilmu hadits, serta sangat menguasai dan ahli dalam ilmu tersebut.
Pengakuan Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya
           Imam al-Nasai telah diakui keutamaan, keahlian dan kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadis oleh murid-muridnya dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi murid-muridnya. Diantaranya sebagai berikut:
1.Abu Ali al-Nisaburi al-Hafiz suatu saat ia berkata: al-Nasai adalah seorang Imam yang tidak diragukan lagi keahliannya dalam bidang ilmu hadis.
2.Al-Dar al-Qutni mengatakan bahwa Imam al-Nasai adalah orang yang didahulukan selangkah dalam bidang ilmu hadis pada masanya ketika orang membicarakan keilmuan hadis. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan statemen Hamzah al-Sahmi yang bertanya pada al-Qutni tentang siapa yang harus didahulukan antara Abdurrahman al-Nasai dan Ibnu Huzaimah ketika keduanya sama-sama membacakan sebuah hadis, lalu al-Dar al-Qutni menjawab : "Tidak ada orang yang menyamai dan didahulukan dari pada Abu Abdurrahman (al-Nasai) dalam bidang ilmu hadis, tidak ada orang yang wara' seperti dia, dia adalah syekh di Mesir yang paling pintar pada masanya dan yang paling mengetahui dan mengerti tentang ilmu hadis".
3.Ibnu kasir: al-Nasai adalah seorang Imam pada masanya dan orang yang paling utama dalam bidangnya.

Kitab-Kitab Karya Imam al-Nasa’i
           Imam al-Nasai dikenal sebagai ulama hadis yang sangat teliti terhadap hadis dan para rawi. Ini terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadis yang dapat diterima atau ditolak sangat tinggi,begitu juga halnya dengan penetapan kriteria seorang rawi mengenai siqoh atau tidaknya. Dalam hal ini, al-Hafiz Abu Ali memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh imam al-Nasai bagi para perawi hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh imam Muslim. Demikian pula al-Hakim dan al-Khatib mengatakan komentar yang kurang lebih sama dengan al-Hafiz Abu Ali. Sehingga ulama Magrib lebih mengutamakan sunan al-Nasai daripada Sahih al-Bukhari.
           Begitu selektifnya Imam al-Nasai dalam menetapkan sebuah kriteria seorang rawi, sehingga beliau berhasil menyusun beberapa kitab, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.Al-Sunan al-Kubra
b.Al-Sunan al-Sugra, yang dinamakan juga dengan kitab al-Mujtaba. Kitab ini merupakan ringkasan dari isi kitab al-sunan al-kubra.
c.Musnad Malik.
d.Manâsik al-Hajj
e.Kitâb al-Jum'ah
f.Igrab Syu'bah 'Ali Sufyan 'Ali Syu'bah
g.Khasâis 'Ali bin Abi Talib Karam Allah Wajhah,
h.'Amal al-Yaum wa al-Lailah 'Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya "Usûlal-Hadis " bahwa al-Nasai mengarang kurang lebih 15 buku dalam bidang ilmu hadis,dan yang paling utama dan masyhur diantaranya adalah kitab al-Sunan, yang akhirnya terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasai. Dan kitab-kitab yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat hanya 5 buah kitab, yaitu :
1.Sunan al-Kubra, kitab koleksi hadis yang pertama kali disusun oleh Imam al-Nasa’i, di dalamnya berbaur antara hadis shahih (termasuk shahih menurut kriteria penilikan al-Nasa’i) dan hadis-hadis ber ‘illat (ma’lul) sejauh diketahui unsur ‘illatnya. Popularitas Sunan al-Kubra bertahan sampai pada abad XI H.
2.Sunan al-Sughra, disebut juga al-Muntakhab, al-Mujtana min al-Sunan, populer kemudian dengan nama “al-Mujtaba” yang oleh kalangan muhaddisin dikenal dengan Sunan al-Nasa’i ; 3.Al-Khasais diselesaikan ketika menetap sementara di wilayah Damascus, berisi rangkuman reputasi kepribadian, keilmuan dan prestasi kemiliteran/pemerintahan Ali bin Abi Thalib beserta ahlul-bait Nabi Muhammad SAW;
4.Fadha-il al-Sahabat ;
5.Al-Manasik (artikel bermateri fiqh yang mendasarkan orientasinya kepada sunnah/hadis dan cenderung memasyarakatkan hukum amaliah persi syar’iyyah).

Metode Penyusunan dan Sistematika Kitab Sunan al-Nasai
a. Dilihat dari namanya, maka kita akan segera tahu bahwa kitab hadis al-Nasai ini disusun berdasarkan metode sunan. Kata sunan adalah jamak dari kata sunnah yang pengertiannya juga sama dengan hadis. Sementara yang dimaksud dengan metode sunan di sini adalah metode penyusunan kitab hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah).
b. Dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw saja (hadis marfu'). Bila terdapat hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi'in (maqtu'), maka relatif jumlahnya hanya sedikit.
c. Sistematika penyajian hadis dalam sunan al-Nasai menyerupai tertib sistem kitab fiqh serta masing-masing kelompok hadis yang satu materi dilengkapi dengan judul sub bab yang mewakili persepsi hasil analisis Imam al-Nasa’i terhadap inti kandungan matan hadis yang bersangkutan. Mengawali penyajian setiap hadis, di terangkan sanad lengkap setiap matan, perhatian khusus mengenai proses tahdis (sighat tahdis), dan matan hadis selengkapnya. Di belakang matan tidak terdapat embel-embel kecuali keterangan singkat mengenai mukharrij yang menjadi referensi hadis dan informasi sederhana tentang unsur ‘illat hadis (bila diketahui hadis bersangkutan berillat).
d. Pengeditan matan hadis ditekankan pada upaya mempertahankan keaslian redaksi (riwayat bil-lafdzi). Imam al-Nasa’i agak peka terhadap dugaan lahn (rancu) dalam bahasa matan hadis, karenanya beliau dengan cermat mencari idiom serupa pada suku-suku pemakai bahasa klasik, sebab bisa diasumsikan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa berkomunikasi dengan bahasa mereka termasuk pemanfaatan idiom-idiom bahasa mereka. Bagi yang mencermati kitab sunan Nasa’i akan mendapatkan bahwa beliau mengumpulkan dalam kitabnya ini hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum. Karenanya kitab sunan tidak mencantumkan hadits-hadits yang berkaitan dengan tafsir, akhbar (berita sebelum nubuwwah), manaqib (derajat para sahabat), maupun mawa’idz (wejangan-wejangan). Rahasianya adalah karena beliau memilih hadits-hadits tadi terkhusus masalah hukum. Yaitu dari kitabnya “As Sunan Kubro”.
Kalau kita ingin mengklasifikasikan isi kitab tersebut adalah sebagaimana berikut ini :
a.    Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan shalat. Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.
b.   Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.
c.    Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian rampasan perang” dengan “jihad”. d. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al khail dengan jihad.
e.    Imam nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada kitab faraidh (pembagian waris).
f.    Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan dzabaih. Juga beliau memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya
g.   Beliau mengakhirkan kitab iman. h.Kitab iman dengan kitab isti’adzah sajalah yang tidak membahas tentang hukum.[5]

F.     Ibnu Majah Dengan Kitab Sunan
           Ibnu Majah, atau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah al-Rab'i al-Quzwaini adalah seorang ahli hadis yang terkenal kerana menyusun kitab Sunan Ibnu Majah. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Sebutan Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyatakan bahawa Majah adalah ayah dari Yazid. Namun demikian, pendapat pertama adalah lebih rajah. Manakala perkataan al-Qazwani adalah berasal daripada Qazwain iaitu nama sebuah Bandar yang termasyhur di Iraq.
           Ulama yang dikenali dengan sifat kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin, Irak. Beliau dilahirkan pada tahun 207 H. Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi (w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah mengemabar ke beberapa daerah dan negara untuk mencari, mengumpul, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antaranya ialah Rayy (Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir. Dengan cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan Hadis dari sumber-sumber yang dipercayai kesahihannya. Malah dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli Hadis, Imam Malik serta Al-Lays. Dari pengembaraannya ini, terdapat ramai ulama yang telah meriwayatkan Hadis dari Ibnu Majah. Antaranya ialah Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.
           Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang Hadis, sejarah, feqh dan tafsir. Di bidang tafsir, beliau telah menulis Tafsir Al-quranul Karim. Sementara di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tariikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi Hadis sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya. Karyanya yang menjadi monumental dan terkenal di kalangan kaum muslimin adalah hasil karyanya di bidang Hadis yang berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya terbesar beliau. Dalam kitabnya itu, Ibnu Majah telah meriwayatkan sebanyak 4000 buah Hadis seperti yang diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain. Ia bukan hanya melingkungi hukum Islam, malah turut membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dan daripada banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebahagiannya sebagai Hadis lemah. Pada asalnya, kitab Sunan Ibnu Majah ini tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah kerana dalam kitabnya ini terdapat hadith yang daif bahkan hadith munkar. Oleh karena itu para ulama’ memasukkan kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut Ibnu Hajar ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah ke dalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian disokong pula Abdul Ghani dalam kitabnya Asmaur Rizal. Namun begitu, kedudukan Sunan Ibnu Majah di dalam al-Sunan al-Sittah adalah dikatakan paling rendah sekali karena didapati banyak hadith dhaif dan dikatakan juga terdapat hadith maudu’ di dalamnya.[6]

Metode Penghimpunan Hadis
           Adapun permasalahan metode penghimpunan hadits-hadits yang dilakukan oleh Ibnu Majah nampaknya tidak dapat diketahui dengan mudah meskipun kita membaca kitab tersebut. Sehingga para ulama melakukan ijtihad tentang metode yang dilakukan oleh Ibnu Majah. Para ulama menduga bahwa kitab hadits yang dikarang oleh Ibnu Majah disusun berdasarkan masalah hukum. Disamping itu juga ia memasukan masalah-masalah lainnya diantaranya tentang masalah zuhud, tafsir dan sebagainya. Dan hadits-hadits yang terdapat dalam kitabnya terdapat hadits yang mursal dengan tidak menyebutkan periwayat ditingkat pertama (sahabat). Hadits semacam itu dalam Kitab Sunan Ibnu Majah terdapat kurang lebih 20 hadits. Sedangkan jika hadits-hadits yang terdapat dalam Kitab Sunan Ibnu Majah dilihat dari segi kualitasnya terdapat berbagai macam-macam hadits: Shahih, hasan bahkan ada yang dha’if, munkar, batil, maudhu’. Hadits-hadits yang dinilai cacat tersebut dalam kitabnya tidak disebutkan sebab atau alasan kenapa Ibnu Majah memasukan hadits tersebut dalam kitabnya.

Pandangan Ulama Terhadap Kitab Sunan Ibn Majjah dan kedudukannya
           Kitab  Sunan Ibn Majjah masih diperselisihkan keberadaanya dalam kutub al-sittah oleh para ulama. Ibn Tahir al-Maqdisi adlah ulama yang kali pertama memasukkan kitab Sunan Ibn Majjah dalam kutub al-sittah. Pendapat tersebut diikuti oleh ulma lainketika memberikan komentar terhadap Ibn Majjah, seperti Ibn Hajar al-Asqalani, al-Mizzi dan al-Dzahabi. Mereka menilai berdasarkan komentar Abu Zur’ah yang mengatakan bahwa kitab ini telah berada pada orang banyak niscaya mereka akan beristirahat untuk membacanya. Mereka juga memuji terhadap sosok pengarangnya, Ibn Majjah yang di nilai seorang yang hafiz dan mempunyai pengetahuan yang luas. Di samping itu, adanya hadis-hadis lain yang tidak ditemukan di dalam kitab hadis sebelumnya (kutub al-khamsah) yang disebut dengan istilah zawa’id.
           Berdasarkan hal tersebut, kitab Sunan Ibn Majjah merupakan kitab hadis yang mempunyai ciri khas tersendiri dengan adanya hadis yang tidak di jumpai dalam lima kitab sebelumnya. Hal ini patutdihargai dengan banyaknya ragam hadis yang dimuat didalamnya bukan berarti kitab hadis ini menjadi rendah martabatnya melainkan hal tersebut dapat dijadikan lahan untuk penelitian lebih lanjut. Apabila masih ditemukan nilainya lemah, maka disarankan dalam berhujjah untuk menggunakan dalil yanaga lebih kuat.

Kelebihan Dan Kekurangan Kitab Sunan Ibn Majjah
            Kitab ini menyajikan sedikit sekali pengulangan, dan merupakan salah satu yang terbaik dalam pengaturan bab dan sub bab, suatu kenyataan yang diakui oleh banyak ulama. Diantara kelebihan-kelebihan Kitab Sunan Ibn Majjah Ini ialah:
Keunggulan kitab ini adalah terletak pada cara pengemasannya. Dan pengemasan seperti akan dapat mempermudah seseorang untuk mencari hadis.
Memuat hadis-hadis yang tidak ditemukan dalam kutub al-khamsah.
Jumlah pasal-pasal dalam kitab sunan Ibn Majah banyak dan ditata dengan baik dengansedikit sekali adanya pengulangan.
Sudah barang tentu, dibalik keunggulan diatas, ternyata Kitab Sunan Ibn Majjah juga terdapat kelemahan, dan kelemahan-kelemahan itu ialah:
Minimnya informasi atas hadis-hadis yang dinilai da’if dan maudu’ perlu penelitian lebih jauh atas hadis-hadis yang dinilai da’if.
Dalam kitab ini terdapat hadis-hadis yang bernilai da’if, munkar, batil, dan bahkan maudu, ibnu Majah pun tidak menjelaskan sebab-sebabnya.

Kitab Syarah Sunan Ibn Majjah
           Kitab Sunan Ibnu Majah nampaknya kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan kitab-kitab hadits lainnya seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud. Hal tersebut terlihat dari minimnya kitab syarah tentang Sunan Ibnu majah. Diantara kitab Syarah Sunan Ibnu Majah adalah:
·      Kitab Syarah yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani (wafat tahun 1138 H ) yakni Syarah Sunan Ibnu Majah. Kitab syarah ini tidak ditulis dengan lengkap, hanya ditulis secara ringkas dan terbatas pada permasalahan yang penting-penting saja. Kitab syarah ini ditulis di bagian pinggir dari kitab Sunan Ibnu Majah.
·      Kitab Syarah yang ditulis oleh al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuti’ (wafat tahun 911 H) dengan nama Misbaahuz Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Akan tetapi kitab syarah ini juga sama dengan ketab yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani hanya menguraikan dengan singkat dan terfokus pada permasalahan yang penting saja.
·      Kitab Syarah yang ditulis oleh al-Muglata’i (w. 762 H) yakni al-I’Iam bi Sunanihi alaih al-Salam.
·      Kitab yang ditulis oleh al-Kamaluddin ibn Musa al-Darimi (w. 808 H) yakni Syarah Sunan Ibnu Majah.
·      Kitab yang ditulis oleh Ibrahim ibn Muhammad al-Halabi yakni Syarah Sunan Ibnu Majah.[7]





BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Istilah Kutubus Sittah digunakan untuk menyebut enam kitab induk hadits, yaitu :
1. Shahih Al Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Sunan An Nasa`I
4. Sunan Abi Dawud
5. Sunan At Tirmidzi
6. Sunan Ibnu Majah
        Kutubu Sittah ini termasuk Diantara kitab yang terbagus penulisan dan penyusunannya, paling banyak benarnya dan sedikit kesalahannya, paling meluas umum manfaatnya dan paling banyak faidahnya, paling besar barakahnya, paling mudah kesukarannya, paling baik penerimaannya disisi orang pro dan kontra dan paling penting posisinya dikalangan semua orang.
        Masing-masing kitab enam tersebut memiliki ciri khas yang hanya diketahui oleh orang yang ahli dibidang ini, sehingga kitab-kitab tersebut dikenal oleh manusia dan tersebar diseluruh pelosok negeri Islam dan pemanfaatannya menjadi besar serta para penuntut ilmu berusaha keras untuk mendapatkannya dan memahaminya.
        Banyak sekali karya tulis berupa syarah dan ta’liq terhadap kitab-kitab tersebut. Sebagiannya mengkaji tentang mengenal isi kandungan dari matan-matan hadits yang termuat didalamnya, dan sebagian yang lain mengkaji tentang mengenal kandungan sanad-sanadnya, sebagian yang lain mengkaji tentang gabungan semua itu.

B.      Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.pcimmesir.com/2015/02/metode-imam-bukhari-dalam-meriwayatkan.html
http://buletin-alilmu.net/2011/09/21/imam-abu-dawud/
http://mazroatulislahiyahfai.blogspot.co.id/
https://alquranassyifa.wordpress.com/2014/01/02/kitab-sunan-ibn-majjah/



[1] http://www.pcimmesir.com/2015/02/metode-imam-bukhari-dalam-meriwayatkan.html
[2] http://www.slideshare.net/Ataw/hadits-shahih-imam-muslim
[3] http://buletin-alilmu.net/2011/09/21/imam-abu-dawud/
[4] http://mazroatulislahiyahfai.blogspot.co.id/
[5] http://www.kompasiana.com/haniaoktavani/kitab-sunan-al-nasa-i_551fc76c813311611e9df8aa
[6] http://wadijannah.blogspot.co.id/2014/05/sunan-ibn-majah-biografi-dan-latar.html
[7] https://alquranassyifa.wordpress.com/2014/01/02/kitab-sunan-ibn-majjah/