DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.............................................................................................................ii
Daftar
Isi......................................................................................................................iii
Bab I :
Pendahuluan
A. Latar
belakang..................................................................................................1
B.
Rumusan
masalah.............................................................................................2
C.
Tujuan...............................................................................................................2
Bab II : Pembahasan
A. Pendekatan
Teologis.........................................................................................3
B. Pendekatan
Antropologis.................................................................................3
C. Pendekatan
Sosiologis......................................................................................5
D. Pendekatan
Filosofis.........................................................................................7
E. Pendekatan
Historis..........................................................................................9
F. Pendekatan
Kebudayaan.................................................................................11
G. Pendekatan
Psikologis.....................................................................................12
H. Pendekatan
Psikologis.....................................................................................14
Bab III : Penutup
A. Kesimpulan......................................................................................................16
B.
Saran................................................................................................................16
Daftar
pustaka.............................................................................................................17
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan
manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-qur’an dan Hadits
tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan
progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual,
senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientasi pada kualitas, kemitraan, mencintai kebersihan,
mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut
terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat
manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti
sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan
cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama
yang demikian itu dapat dijawab mana kala pemahaman agama yang selama ini
banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang
menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan.
Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara
fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut
meliputi pendekatan teologis, normative, antropologis, sosiologis, psikologis,
historis dan pendekatan filosofis, serta pendekatan-pendekatan lainnya. Adapun
yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Dan disini kami mengajak anda untuk mengetahui lebih lanjut seperti apa
itu saja pendekatan dalam studi Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
pendekatan teologis dalam studi Islam?
2.
Bagaimana
pendekatan antropologis dalam studi Islam?
3.
Bagaimana
pendekatan sosiologis dalam studi Islam?
4.
Bagaimana
pendekatan filosofis dalam studi Islam ?
5.
Bagaimana
pendekatan historis dalam studi Islam ?
6.
Bagaimana
pendekatan kebudayaan dalam studi Islam ?
7.
Bagaimana
pendekatan psikologis dalam studi Islam ?
8.
Bagaimana
pendekatan interdisipliner dalam studi Islam ?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui
pendekatan teologis dalam studi Islam.
2.
Mengetahui
pendekatan antropologis dalam studi Islam.
3.
Mengetahui
pendekatan sosiologis dalam studi Islam.
4.
Mengetahui
pendekatan filosofis dalam studi Islam.
5.
Mengetahui
pendekatan historis dalam studi Islam.
6.
Mengetahui
pendekatan kebudayaan dalam studi Islam.
7.
Mengetahui
pendekatan psikologis dalam studi Islam.
8.
Mengetahui
pendekatan interdisipliner dalam studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Teologis
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu
theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos
yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . sedangkan
pendekatan teologis adalah suatu pendekatan yang normatif dan subjective
terhadap agama. Pada umumnya, pendekatan ini dilakukan dari dan oleh penganut
agama dalam usahanya menyelidiki agama lain. Secara harfiah, pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upayamemahami
agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dubandungkan dengan yang lainnya.
Menurut The Encyclopedia of American Religion, di Amerika
Serikat terdapat 1.200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian
bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri masal setelah
berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam pun secara
tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan teologi
Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi bernama Khawarij dan
Murji’ah.
Di masa sekarang ini, perbadaan dalam bentuk formal teologis
yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologis keagamaan. Namun,
pluralitas dalam perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka pada sikap
saling bermusuhan dan saling menonjolkan segi-segi perbedaan masing-masing
secara arogan, tapi sebaiknya dicari titik persamaanya untuk menuju subtansi
dan misi agama yang paling suci. Salah satunya adalah dengan mewujudkan rahmat
bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan, kemanusiaan,
kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian, dan
seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, fungsi agama bagi kehidupan
manusia segera dapat dirasakan.
B. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologi dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan
cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui ini pendekatan agama tampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya.
1.
Antropologi
Sebagai Bidang Ilmu Humaniora
Antropologi adalah sebuah ilmu yang
didasarkan atas observasi gartisipasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan
data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak
memihak) menggunakan metode komgeratifi. Tugas utama antropologi, studi tentang
manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami
kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara
esensil, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang
lainnya.
Sedangkan Humaniora atau Humaniteis
adalah bidang-bidang studi yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia
dan berusaha menambah martabat kepada penghidupan dan eksitensis manusia
menurut Elwood mendefinisikan ”Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku
moral manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun
sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan
merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama,
filsafat, sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora
adalah memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi. Jadi
antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang kesemuanya
memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai manusia.
Bagi para humanis bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa
mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam
sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk karya
seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para humanis dengan
menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.
2.
Ilmu-ilmu
Bagian Dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika,
antropologi telah mencapai suatu perkembangan yang paling luas ruang lingkupnya
dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit
lima masalah penelitian khusus:
a. Masalah sejarah asal dan
perkembangan manusia (evolusinya) secara biologis.
b. Masalah sejarah terjadinya aneka
warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri tumbuhnya.
c. Masalah sejarah asal, perkembangan
dan persebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia.
d. Masalah perkembangan persebaran dan
terjadinya aneka warna kebudayaan manusia di seluruh dunia.
e. Masalah mengenai asas-asas
kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang
tersebar diseluruh bumi masa kini.
3. Signifikasi Antropologi Sebagai
Pendekatan Studi Islam
Pendekatan antropologi dalam memahami
agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara
melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih
mengutamakan langsung bahkan sifatnya partisipatif.
C. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara
manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan
penilaian. Dari dua definisi terlihat sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai
gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang
berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang
dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan
sebagai berikut:
1.
Pertama,
dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam
bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan
bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut
kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada
seratus ayat muamalah (masalah sosial).
2.
Kedua,
bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah
yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan
ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3.
Ketiga,
bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari
pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara
berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4.
Keempat,
dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang
kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial
dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini
dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara
imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila.
Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat
dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami
agamanya.
Maksud
pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam
kehidupannya. Pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu
masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan
menggunakan ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.
Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang didalam
masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya atau tidak.
Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang
dalam suatu masyarakat.[1]
D. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat
berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah.
Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat
sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab,
asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta
ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu.
Jika melihat definisi yang diberikan oleh dua orang yang
mula-mula mencintai kebijakan, Plato dan Aristoteles, kita dapat mulai melihat
bagaimana kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimengerti. Plato mendeskripsikan
filsuf sebagai orang yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang
belajar dan tidak pernah puas. Aristoteles juga memberikan suatu defenisi
filsafat sebagai ”pengetahuan mengenai kebenaran” .
Sedangkan
Sextus Empiricius menyatakan bahwa filsafat adalah suatu aktivitas yang
melindungi kehidupan yang bahagia melalui diskusi dan argumen. Maka unsur kunci
yang menyusun ”cinta pada kebijakan’ adalah kemauan menjaga pikiran tetap
terbuka, kesediaaan membaca secara luas, dan mempertimbangkan seluruh wilayah
pemikiran dan memiliki perhatian pada kebenaran. Semua itu bagian dari suatu
aktivitas atau proses dimana dialog, diskusi, dan mengemukakan ide dan argumen
merupakan intinya. Dengan kata lain, “cinta pada kebijakan” ini adalah suatu
komitmen, suatu kemauan mengikuti sesuatu atau alur pemikiran atau suatu ide
sampai pada kesimpulan-kesimpulannya, namun setiap langkah proses itu selalu
terbuka untuk ditentang selalu terbuka untuk dibuktikan salah.
Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai bersifat sementara dan tentatif.
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat
yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara
mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran,
inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Dengan demikian
dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya adalah upaya atau usaha untuk
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik
objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang
terdapat dibalik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai
merek pulpen dengan kualitas dan harganya yang berbeda, namun inti semua pulpen
itu adalah sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah
semua nama dan jenis pulpen. Louis O. Kattsof mengatakan, bahwa kegiatan
kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan
berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan
secara mendalam, radikal, sistematik dan universal. Mendalam artinya dilakukan
sedemikian rupa hingga dicari sampai ke batas di mana akal tidak sanggup lagi.
Radikal artinya sampai ke akar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa.
Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode
berpikir tertentu, dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu
kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.
Sedangkan
filsafat setelah memasuki ranah “agama” terjadi sedikit pergeseran makna dari
yang disebutkan di atas. Misalnya, dalam kajian agama kristen Dalferd
menyatakan bahwa tugas filsafat adalah melihat persoalan-persoalan yang
melingkupi pengalaman manusia, faktor-faktor yang menyebabkan pengalaman
manusia menjadi pengalaman religius, dan membahas bahasa yang digunakan umat
beragama dalam membicarakan keyakinan mereka. Baginya, rasionalitas kerja
reflektif agama dalam proses keimanan yang menuntut pemahaman itulah yang
meniscayakan adanya hubungan antara agama dan filsafat.
Dalam upaya agar agama terpahami baik upaya yang bersifat
internal yakni upaya tradisi keagamaan mengeksplorasi watak dan makna keimanan
maupun upaya eksternal yakni upaya menjelaskan dan mengartikulasikan makna itu
bagi mereka yang tidak berada dalam tradisi, agama tidak dapat dipisahkan dari
filsafat. Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat
menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses
rasional. Yang dimaksud “proses rasional” ini mencakup dua hal. Pertama, kita
menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam refleksi
pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan. Kedua, kita
menunjukkan fakta bahwa dalam menguraikan keimanannya, tradisi keagamaan harus
dapat menggunakan akal dalam memproduksi argumen-argumen logis dan dalam
membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan.
Sedangkan dalam kajian Islam berpikir filosofis tersebut
selanjutnya dapat digunakan dalam memahami agama, dengan maksud agar hikmah,
hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
saksama. Pendekatan filosofis ini sebenarnya sudah banyak dilakukan sebelumnya,
diantaranya Muhammad al Jurjawi yang menulis buku berjudul Hikmah Al Tasyri’ wa
Falsafatuhu. Dalam buku tersebut Al Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang
terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam, misalnya ajaran agama Islam
mengajarkan agar melaksanakan sholat berjamaah dengan tujuan antara lain agar
seseorang dapat merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang
lain, dan lain sebagainya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan
yang bersifat filosofis.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat
memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap
hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika
seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual
yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari
suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas
yang dimiliki seseorang.
Melalui
pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama
yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi
tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang didapatkan dari
pengamalan agama hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah
menunaikan rukun Islam kelima dan berhenti sampai disitu saja. Tidak dapat
merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian
pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk
pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang
bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang
bersifat eksoterik. Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya
mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan
filosofis dalam memahami ajaran agamanya.[2]
E. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis (Historical
Approach) adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dal peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari
alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini
seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat
dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami
agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo
telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam,
menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an ia sampai pada satu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati
banyak sekali istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian
normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya
pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah
dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-Qur’an, atau bisa jadi merupakan
istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep
relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian
dintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an, dan dengan demikian, lalu
menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep
baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat,
Akhirat, Ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan
konsep tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret. Selanjutnya, jika pada
bagian yang berisi konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang
komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang
berisi kisah dan perumpamaan Al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan
untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk
memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks
historisnya. Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an secara benar misalnya,
yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya Al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al-Qur’an yang selanjutnya disebut
dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Qur’an.
Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam
suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara
syari’at dari kekeliruan memahaminya.[3]
F.
Pendekatan
Kebudayaan
Konsep mengenai kebudayaan yang dikemukakan seperti tersebut
diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendata dan
mengkaji serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata
agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah
pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga
masyarakat tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan
keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan
keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan
keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan. Pada waktu
kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat
adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia,
dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan
Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama
menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat
tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari
masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses
perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan
keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat
mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur
kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan
tersebut.
Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai
budaya dari kebudayaan tersebut. Bila agama telah menjadi bagian dari
kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan
oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka
dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini.
Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin
dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila
yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai
budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh
masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting
untuk upacara-upacara saja.
Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap
agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami
corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya.
Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah
untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para
warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama
tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat
tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan
keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal.
Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih
toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila
aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan
terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat
tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan
merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal
lingkungan hidup masyarakat tersebut.[4]
G. Pendekatan Psikologis
Psikologi
adalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk bentukan halus dalam diri
manusia yang tidak terlihat dan hanya dapat dirasakan. Sesuatu yang tidak
tampak itu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memberikan definisi yang
tepat. Secara bahasa, psikologi berasal dari bahasa Inggris Psychology yang berasal dari bahasa
Yunani Psyche yang artinya jiwa, dan
logos yang berarti ilmu pengetahuan (Saleh dan Wahab, 2005:1). Merujuk pada
pengertian tersebut maka psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun
latar belakangnya, dan secara singkat disebut sebagai ilmu jiwa (Ahmad Fauzi,
2009: 10). Namun psikologi dalam bahasa arab sampai sekarang masih disebut
sebagai ilmu nafs yang berarti ilmu
jiwa (Diana Mutiah, 2010: 1).
Menurut
Plato dan Aristotes bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Sedangkan menurut Morgan,
C.T. King bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
hewan, demikian diungkapkan oleh Shaleh & Wahab, (2005: 5-6). Jika pengertian
psikologi dipandang oleh ilmuwan sekuler (orientalis/outsider) sebagai ilmu jiwa semata yang diposisikan sebagai ilmu
yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan belaka maka dalam khazanah
dunia keilmuan Islam (insider),
psikologi dibahas dan diposisikan sebagai suatu ilmu yang luas ruang lingkupnya
dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah
sebagai Tuhannya. Dalam hal ini pola hubungan bersifat secara langsung dan
hanya dibatasi oleh tingkat ketebalan iman.
Berbagai macam pendekatan psikologis terhadap agama dikembangkan secara
praktis dan strategis dan ilmiah dalam rangka menelusuri gejala psikologis yang
terjadi pada proses manusia mencari dan menuju keyakinan atau agamanya.
Berbagai gejala yang muncul dianalisis berdasarkan logika yang dekat dengan
fenomena tersebut, sehingga dalam hal ini masih bersifat subyektif sekali dan
tidak dapat digeneralisir. Sangat diperlukan pemakluman jika terjadi perbedaan
persepsi dan wacana terhadap perspektif individu dengan yang lain terhadap
aspek keyakinan atau agamanya. Orang mampu memahami dan meyakini agamanya
berbeda-beda cara dan jalannya tergantung dari mana seseorang tersebut
memperoleh dorongan yang paling kuat yang mudah untuk ditelaah oleh rasionya.
Terdapat beberapa pendekatan agama dalam aspek psikologis yang dapat
diungkapkan dalam artikel ini, antara lain :
a. Pendekatan Struktural, yaitu
pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari pengalaman seseorang berdasarkan
tingkatan atau kategori tertentu. Struktur pengalaman tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode pengalaman dan introspeksi. Tokoh yang terkenal dalam model
pendekatan struktural adalah William James.
b. Pendekatan Fungsional, yaitu
pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari bagaimana agama dapat berfungsi
atau berpengaruh terhadap tingkah laku hidup individu dalam kehidupannya.
Pendekatan ini pertama kali dipergunakan oleh William James (1910 M), ia adalah
penemu laboratorium psikologi pertama di Amerika pada Universitas Harvard.
William mendiksusikan agama sebagai sesuatu yang muncul dari bagian pengalaman
manusia yang paling luas. Karenanya, dia menyatakan bahwa, perasaan keagamaan
adalah hal yang serupa dengan perasaaan-perasaan yang lain. Dengan demikian
maka agama merupakan bagian ekspresi dari pengalaman psikologi individu.
c. Pendekatan Psiko-analisis,
yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk menjelaskan tentang pengaruh agama
dalam kepribadian seseorang dan hubungannya dengan penyakit-penyakit jiwa.
Pendekatan ini pertama kali dilakukan oleh Sigmund Freud (Feist& Feist,
2009)
Sebagai disiplin ilmu yang mandiri, maka psikologi agama juga diyakini
memiliki metode penelitian secara ilmiah. Kajian dilakukan dengan mempelajari
fakta-fakta berdasarkan data yang terkumpul dan dianalisis secara obyektif
kualitatif. Kekuatan analisis peneliti tergantung dari sejauh mana peneliti
memiliki data dan pengalaman empiris yang kuat sehingga menghasilkan analisis
yang rasional dan teruji secara ilmiah. Dalam meneliti ilmu jiwa dalam agama
menggunakan sejumlah metode, yang antara lain adalah metode penelitian dokumen
pribadi seseorang. Metode ini digunakan untuk mempelajari tentang bagaimana
pengalaman dan kehidupan batin seseorang dalam hubungannya dengan agama.[5]
Pendekatan interdisliner yang dimaksud
disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang
(perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan pendektan filsafat, sosiologis,
historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya penggunaan pendekatan ini
semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya
menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama,
seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan
pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan
historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan hermeneutik
misalnya.
Dari kupasan
diatas melahirkan beberapa catatan. Pertama, perkembangan pembidangan studi
Islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Kedua, adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan tetentu
dimaksudkan agar mampu memahami ajaran islam lebih lengkap (komprehensif)
sesuai dengan kebutuhan tuntutan yang semakin lengkap dan komplek. Ketiga
perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi,
kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak mendapat perhatian.[6]
Contoh dalam penggunaan pendekatan
interdispiner adalah dalam menjawab status hukum aborsi. Untuk melihat status
hukum aborsi perlu dilacak nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tentang larangan
pembunuhan anak dan proses atau tahap penciptaan manusia dihubungkan dengan
teori embriologi.
Dari pembahasan ringkas tentang pendekatan
yang dapat digunakan dalam studi Islam ada beberapa catatan. Pertama sejumlah teori memang sudah digunakan
sejak lama oleh para ilmuan klasik, meskipun teori-teori tersebut mengalami
perkembangan. Kedua ada beberapa teori yang mendapat penekanan pada beberapa decade.[7]
Paradigma Interdisipliner
secara aksiologis menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang
baru yang lebih terbuka mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat
dipertanggungjawabkan kepada public dan berpandangan ke depan. Secara
ontologism, hubungan antara berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka
dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung
keilmuan yang bersumber pada teks-teks dan budaya pendukung keilmuan
factual-historis-empiris, yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman serta budaya
pendukung keilmuan etis filosofis masih tetap ada. Hanya saja, cara berfikir
dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini yang perlu berubah.[8]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya adalah upaya atau
usaha untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada
dibalik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti
yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah. Karena sumber pengetahuan pendekatan
filosofis adalah rasio, maka untuk melakukan kajian dengan pendekatan ini akal
mempunyai peranan yang sangat signifikan.
Metode-metode
yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak
cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali
oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan
(approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan
teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami
agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis, antropologis,
sosiologis,filosofis,historis, kebudayaan, psikologis, interdisipliner. Adapun
pendekatan yang dimaksud disini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya
digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahman
mendasarkan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya. Karena itu
tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial,
penelitian filosofi, atau penelitian legalistik.
B.
Saran
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Banyak kekurangan disana-sini untuk itu mohon kiranya para pembaca
sekalian mau memberikaan masukan kritik dan saran guna perbaikan dimasa yang
akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Khoiruddin.2009.Pengantar Studi Islam. (Yogyakarta:
Academia dan Tazzafa)
Poerwadarminta, J.s. 1991.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta:
Balai Pustaka)
Yasid, Abu. 2010.
Aspek-aspek Penelitian Hukum. (Situbondo:…)
Hakim, Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok.
1999. Metodologi Studi Islam.( Bandung: PT
Remaja Rosdakarya)
journal.stainkudus.ac.id/index.php/Quality/article/download/221/16
Diakses pada 01/11/2017
Fanani, Ahmad dan Tolhatul Chair
(Ed.). 2009. Islam dalam
Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
[1] Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A., Pengantar Studi Islam,
Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009,hlm 197
[2] J.s poerwadarminta, kamus umum bahasa indonesia,(jakarta:
balai pustaka, 1991)cet,XII hlm.280
[4] Hakim, Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1999, hal 43
[6] Khoiruddin Nasution,MA, Pengantar
Studi Islam, Yogyakarta: 2009,hlm. 230-232
No comments:
Post a Comment